Nilai ekonomi sampah yang belum sebanding dengan kontaminasi
Sebagai warga Jakarta, kita masih menganggap bahwa sampah adalah hal yang menjadi masalah serius. Menurut sebagian orang, sampah adalah hal yang tidak dapat terpakai lagi, tidak mempunyai harga jual lagi dan merugikan. Namun, tidak semua orang mempunyai pemikiran sama seperti itu, ada yang menganggap sampah adalah hal yang masih bisa digunakan dan mempunyai harga jual, bahkan sebagian besar warga yang kurang mampu menjadikan sampah sebagai tempat mereka mencari nafkah untuk menghidupi keluarga mereka. Warga tidak menyadari bahwa sampah yang dihasilkan perhari dapat mencapai 2x lebih besar dari Candi Borobudur.
Sampah yang dihasilkan warga Jakarta akan dibawa dan ditampung ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu atau TPST Bantar Gebang, Kota Bekasi yang setiap tahun nya dilakukan perluasan lahan oleh Pemerintah Kota Bekasi. Setiap harinya warga Kota Jakarta menghasilkan sampah sebanyak 0.5 kg/orang dan jika dikalikan 1 RW yang berpenduduk 1200 orang bisa menghasilkan 600 kg sampah perhari. Sehingga dalam satu tahun sampah yang dihasillkan sebesar 219 ton/tahun dan setara dengan 31 ekor gajah. Bisa dibayangkan dampak yang dirasakan oleh warga Kecamatan Bantar Gebang, terutama yang ada di Kelurahan Ciketing Udik, Sumur Batu, dan Cikiwul. Disetiap aktivitasnya, warga sekitar menghirup udara yang menyengat, mengonsumsi air minum yg berasal dari air resapan tanah, dan mereka tahu sumbernya terkontaminasi dengan resapan dari sampah.
“Pribumi” yang terdampak sampah
Pribumi, itulah sebuah julukan yang mereka buat untuk dirinya. Di Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi terdapat banyak pribumi yang direnggut hak untuk berbicara dan hak untuk mengutarakan pendapatnya tentang apa, kenapa, mengapa, dan bagaimana TPST Bantar Gebang bisa dibangun ditengah-tengah pemukiman mereka. Mereka hanyalah seorang pribumi yang patuh atas kebijakan Pemerintah yang sangat bijaksana. Para pribumi yang berada di sekitar Kecamatan Bantar Gebang mendapatkan dana kompensasi dari tahun 2004 sebesar Rp. 50.000.- kemudian pada tahun selanjutnya sebesar Rp. 100.000,- hingga sekarang dana kompensasi dari pemerintah untuk warga kelurahan Cikiwul sebesar Rp. 200.000,- sebagai ganti rugi atas lingkungan yang tercemar dan udara yang kurang baik yang disebabkan oleh adanya TPST Bantar Gebang di sekitar mereka.
Tak hanya para pribumi yang menetap di Kecamatan Bantar Gebang, banyak para pendatang yang datang dan menetap disana untuk menjadi Pemulung sebagai mata pencarian mereka di sekitar TPST Bantar Gebang. Pendapatan yang didapat oleh pemulung pendatang disekitar perkampungan Cikiwul yang sudah menetap lama sebesar Rp. 2.000.000,-/ malam dan pendapatan pemulung disekitar perkampungn Cikiwul yang baru datang sebesar Rp. 200.000,-/ malam. Mayoritas pemulung yang ada di sekitar TPST Bantar Gebang adalah para pendatang bukan dari para pribumi.
Komunitas peduli sampah untuk pendidikan
Barudak Leutik adalah salah satu komunitas yang tergerak untuk meningkatkan taraf pendidikan khususnya bagi anak-anak dari pribumi di Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantar Gebang. Mereka para anggota Barudak Leutik membuat gerakan untuk menyadarkan betapa pentingnya pendidikan untuk keberlangsungan hidup mereka melalui “Gerakan Tukar Sampah Dengan Pendidikan”. Dari gerakan ini banyak spekulasi dari warga sekitar yang masih menyampingkan pendidikan untuk anak-anak mereka. Mereka lebih senang melihat anak-anak ikut bekerja memulung sampah di sekitar lokasi karena dapat membantu orangtuanya memperoleh uang.
Berkat kegigihan komunitas Barudak Leutik, beberapa tahun lalu mereka bisa mendirikan Rumah Singgah untuk anak-anak belajar, ada beberapa relawan yang bersedia memberikan pengajaran gratis kepada mereka. Perjalanan Barudak Leutik tak selalu mulus karena banyaknya tekanan dan campur tangan semua pihak yang punya kepentinga tertentu, mulai dari Pemerintah, Tokoh Pemuka disekitar maupun keluarga sendiri. Namun semua itu tak lantas membuat mereka mundur begitu saja bahkan dijadikan motivasi bagi mereka untuk mendirikan “Bantar Gebang International School” khusus untuk pribumi Kecamatan Bantar Gebang.
Semakin gencar mereka menyuarakan gerakan dan ide yang mereka gagaskan, semakin besar pula tekanan yang didapatkan. Pada akhirnya mereka harus merelakan rumah singgah mereka digusur. Bahkan tanah yang mereka jadikan rumah singgah untuk anak-anak Barudak Leutik harus dijual. Tapi dengan semua cobaan, tak membuat anak-anak Barudak Leutik patah semangat dalam belajar. Saat ini mereka menyebut Komunitas Barudak Leutik sedang “Mati Suri” karena mereka yakin akan kembali berjaya dan bisa menyuarakan isi hati mereka untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik.
Pemerintah Kota (Pemkot) beberapa kali menyinggahi Rumah Singgah Barudak Leutik sebelum digusur dan memberikan harapan yang sangat besar kepada mereka untuk mendirikan sekolah bagi mereka para pribumi, namun hingga sekarang harapan tersebut tak kunjung terealisasikan. Pemkot sangat baik karena sudah memfasilitasi para pribumi dengan infrastruktur jalan raya yang sangat bagus kemudian dibangun fasilitas tempat ibadah yang sangat megah. Namun, pemerintah belum berfikir lebih lanjut apakah dengan infrastruktur dan fasilitas yang mereka berikan akan sangat berpengaruh untuk mereka? Bagaimana para warga dapat menggunakan fasilitas tempat ibadah yang sangat mewah itu dengan keadaan mereka yang tak begitu mendukung dengan penyakit yang mereka idap. Karena fasilitas dan infrastruktur yang pemerintah berikan untuk mereka sangat berbanding terbalik dengan keadaan dan kebutuhan mereka.
Bagaimana bisa pemerintah seakan akan menutup matanya dengan keadaan para pribumi yang ada di sekitar TPST Bantar Gebang dengan air tanah yang sebagian besar sudah tercemar akibat air lindi yang menyerap ke tanah dan membuat tanah itu tercemar. Lalu, dengan kondisi udara yang sangat tidak baik karena sudah tercemar dari asap-asap kendaraan yang mengangkut sampah menuju TPST Bantar Gebang setiap harinya dan kondisi udara disegala musim yang memunculkan bau tidak sedap dari TPST Bantar Gebang.
Gerakan peduli lingkungan oleh mahasiswa Universitas Bakrie
Andhika Jitendriya, Joan Rachel Masela, dan Sarah Winda Fauziah adalah mahasiswa dari Universitas Bakrie Program Studi Teknik Lingkungan, angkatan 2017, berinisiatif untuk melakukan upaya membantu para Pribumi dan Barudak Leutik untuk menyuarakan harapan mereka kembali yang telah mati suri. Dibantu oleh Diki Surya Irawan, S.T., M. Si, dosen pembimbingnya mereka ingin memulai tindakan kecil yang bisa dilakukan melalui gerakan yang berbasis pendidikan sekaligus lingkungan, yaitu gerakan “Tukar Sampah Dengan Pendidikan”. Gerakan ini memang sudah dimotori oleh komunitas sebelumnya namun belum cukup berhasil. Beberapa upaya telah disusun untuk menghidupkan kembali gerakan yang dulunya dianggap memberi harapan kepada warga setempat walaupun mereka menganggap bahwa upaya ini masih dirasakan belum cukup optimal jika hanya dilakukan oleh sekelompok kecil mahasiswa.
Tujuan gerakan ini terkait dengan 3R, yaitu:
- Reduce, meminimalkan produk sampah atau mengurangi pemakaian barang yang tidak bisa didaur ulang,
- Reuse, upaya menggunakan kembali sampah secara langsung (memakai kembali kantung plastik yang sudah ada), dan
- Recycle, upaya untuk memanfaatkan kembali sampah melalui proses (pembuatan pupuk kompos).
Tiga tujuan diatas merupakan tindakan yang sudah sangat lama dilakukan oleh berbagai pihak manapun, baik pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat namun mereka tetap yakin bahwa 3R ini memang patut untuk diupayakan terus-menerus.
Sementara itu dalam konteks kegiatan yang terkait kampus, kegiatan yang ingin dilakukan adalah:
- Kunjungan lapangan/lokasi di Kelurahan Cikiwul.
- Diskusi dengan warga dan komunitas Barudak Leutik sebagai bagian assessment, termasuk pengamatan kegiatan pemulung
- Penyusunan materi untuk edukasi dan aksi pemilahan sampah
- Penyusunan rencana aksi kegiatan edukasi bersama warga dan komunitas Barudak Leutik
- Sosialisasi rencana kegiatan.
- Pelaksanaan kegiatan pelatihan dan penerapan di Rumah Singgah Kelompok Barudak Leutik
- Evaluasi kegiatan sebagai upaya meningkatkan kualitas dan penyusunan rencana aksi berikutnya.
Pada kegiatan pelatihan dan penerapan pemilahan sampah kepada anak-anak Barudak Leutik, sampah yang sudah terpilah sesuai jenis akan kami olah. Khusus untuk sampah plastik diolah menjadi prakarya yang mempunyai nilai jual tinggi, atau dijual langsung ke pengepul sekitar. Untuk sampah organik dijadikan pupuk kompos yang bisa dijual ke pasaran. Lalu, dari semua pendapatan itu bisa digunakan untuk memperbaiki Rumah Singgah Barudak Leutik agar anak-anak bisa kembali belajar dengan menggunakan fasilitas yang baik guna mendukung kegiatan belajar mengajar mereka.
Harapan besar gerakan ini adalah untuk menghidupkan kembali wadah dan komunitas peduli bagi pribumi atau warga lokal atas penghidupan yang layak. Walaupun terkesan bahwa ada sebagian mereka yang nampak kumuh berada dalam lingkungan berton-ton sampah dan ada sebagian mereka nampak sejahtera, namun ada sebagian dari mereka yang benar-benar terdampak dan tersingkirkan akibat sampah yang hidupnya tetap miskin, mudah terserang penyakit, dan tidak memperoleh pendidikan yang layak. Mereka yang tersingkir ini harus dibantu menjadi warga yang berperan aktif dan mampu menjadi warga yang sejahtera hidup di lingkungan sampah.
Tanpa perlu melakukan tidakan besar dan berbiaya besar, Andhika Jitendriya, Joan Rachel Masela, dan Sarah Winda Fauziah berharap apa yang mereka lakukan dapat memberi warna bagi hidupnya dan sangat berarti bagi warga lokal untuk menjadi lebih sejahtera.
Salam Lestari,
Diki Surya Irawan (Dosen Teknik Lingkungan Universitas Bakrie, Program Manager Teknologi Tepat Guna di IPEHIJAU).