Rata-rata setiap harinya kota-kota besar di Indonesia menghasilkan puluhan ton sampah. Sampah-sampah itu diangkut oleh truk-truk khusus dan dibuang atau ditumpuk begitu saja di tempat yang sudah disediakan tanpa di apa-apakan lagi. Dari hari ke hari sampah itu terus menumpuk dan terjadilah bukit sampah seperti yang sering kita lihat saat ini. Sampah yang menumpuk itu, sudah tentu akan mengganggu penduduk di sekitarnya. Selain baunya tidak sedap seringkali dihinggapi oleh lalat. Dan juga dapat mendatangkan wabah penyakit.
Di kota besar di Indonesia, pemanfaatan sampah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh masyarakat, seperti sampah anorganik yang didaur ulang menjadi barang-barang kerajinan. Sedangkan dari segi secara organik, sampah yang bisa dijadikan sebagai bahan bakar pengganti minyak, salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah pembuatan briket arang dari sampah organik.
Sampah di Kota Depok dan Permasalahannya
Pada tahun 2010, penduduk Kota Depok berjumlah 1.738.570 jiwa (BPS Jawa Barat, 2010), sedangkan sumber terkini menyebutkan jumlah penduduk mencapai 2,1 juta jiwa dengan pertumbuhan mencapai 3,5 persen hingga 5,0 persen per tahun (sumber:Kota Depok). Dengan mengasumsikan timbunan sampah 2,65 liter/orang/hari maka timbulan sampah Kota Depok dapat diperkirakan yaitu sebesar 4.607 m3/hari. Namun, sampah yang masuk ke TPA Cipayung hanya dapat diolah oleh TPA sebesar 1.200 m3.
TPA Cipayung adalah salah satu tempat pembuangan akhir yang bisa dibilang satu yang terbesar di Indonesia mengingat luas wilayahnya yang mencapai mencapai 9,1 hektare. TPA Cipayung sendiri terletak di Desa Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Lokasinya berada sangat dekat sekali dari pusat Kota Depok, kurang lebih 20 menit menggunakan sepeda motor untuk mencapai kawasan ini. Kawasan ini berada dalam pengelolaan pemerintah setempat terutama Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok. Oleh karena itu tidak mengherankan jika di kawasan TPA Cipayung banyak mobil truk sampah ataupun petugas dinas kebersihan yang lalu lalang keluar masuk TPA. Selain fungsinya sebagai tempat pembuangan akhir sampah. TPA Cipayung sendiri memiliki fungsi lain yaitu sebagai UPS (Unit Pengelolaan Sampah Terpadu).
TPA Cipayung mengalami banyak masalah, terutama dari meningkatnya volume sampah yang dibuang ke TPA Cipayung mengalami peningkatan hampir 50 ton/hari, hal ini diperparah dengan adanya kolam penampungan yang sudah tidak mampu lagi menampung sampah yang dibuang ke TPA Cipayung. Dari 3 kolam sampah tersisa hanya 1 kolam, yaitu Kolam A yang menyatu dengan Kolam B akibat longsoran gunungan sampah pada tahun 2015. Sedangkan Kolam C (kolam ketiga) sudah ditutup karena terlalu dekat dengan pemukiman warga pada tahun 2012. Dengan demikian dapat dikatakan UPS yang tersedia sudah tidak mampu lagi menampung.
Inovasi Pengembangan Biobriket oleh Mahasiswa Universitas Bakrie
Berawal dari kondisi yang ada, beberapa mahasiswa Universtas Bakrie yang terdiri dari Verbi Fernendi, Maria Cintya Nova, dan Richa Andreina mencoba melakukan upaya lanjutan mengenai pengembangan biobriket sebagai bagian dari pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat di tingkat rumah tangga dan di tingkat kelurahan. Melalui Program Kreativitas Mahasiswa yang di adakan oleh KEMENRISTEKDIKTI para mahasiswa Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Bakrie didorong untuk turut mengurangi volume sampah dengan cara memanfaatkan sampah terbuang agar lebih bernilai ekonomi. Mereka berupaya mengembangkan kembali pembuatan biobriket berbahan dasar sampah organik yang bekerjasama dengan masyarakat sekitar.
Berdasarkan penelitian terdahulu, pengembangan biobriket ini memiliki keunggulan yaitu:
- bahannya (sampah) mudah didapat,
- tidak mengandung belerang sehingga tidak berbau menyengat,
- tidak berasap dan beresidu,
- tidak ada bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan briket sampah
- harganya lebih murah dibandingkan dengan arang dari kayu.
Penggunaan briket arang berbahan baku sampah organik ini dinilai sangat ekonomis. Bahan bakunya bisa disebut sangat berlimpah, yakni sampah-sampah organik yang bertumpuk dengan volume yang terus bertambah. Nilai konversinya mencapai sepuluh persen. Artinya, dari bahan 10-15 kg sampah organik bisa dihasilkan sekitar 1 -1,5 kilogram briket arang, bergantung jenis sampah. Makin tinggi kadar air sampah, makin rendah nilai konversinya menjadi briket arang. Sementara itu, dari sisi harga, juga relatif lebih kompetitif daripada bahan bakar minyak.
Pada tahun (2006), harga briket arang berkisar Rp 1.900-2.000 per kilogramnya. Nilai efisiensi 1 kg briket arang setara dengan 1,5 liter minyak tanah. Dengan asumsi 1 liter minyak tanah bisa digunakan untuk memasak selama dua jam, sedangkan 1 kg briket arang bisa tahan selama 4-6 jam. Kalori yang dihasilkan juga cukup tinggi, yakni mencapai 6.000 – 7.000 kalori.
Dalam kegiatan pengembangan ini mereka melibatkan warga RT001/RW007 Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung yang berada di pinggir TPA Cipayung. Mereka dipilih menjadi salah satu mitra awal dalam Proyek Pengembangan Usaha Pengelolaan Biobriket Sampah Organik dikarenakan warga desa tersebut sudah cukup sadar dan terpapar mengenai biobriket ini dan menganggap bahwa biobriket sampah organik ini bisa menjadi salah satu sumber ekonomi yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang ada didaerah tersebut.
Kami berharap program ini diharapkan menjadi pembangkit gairah kita bersama, untuk lebih peduli dan peka pada lingkungan dan menjadi sebuah motivasi untuk mewujudkan pengembangan potensi sumber daya lingkungan yang bekelanjutan. Kritik dan saran ditujukan kepada pemerintah atau pihak terkait untuk pengembangan dalam skala besar di masa depan.
Salam hijau,
Diki Surya Irawan, S.T., M.Si (Dosen Teknik Lingkungan Universitas Bakrie, Program Manager Teknologi Tepat Guna di IPEHIJAU)