Target Optimis atau Mimpi Bidang Pembangunan Air Minum dan Sanitasi?

Show all

Target Optimis atau Mimpi Bidang Pembangunan Air Minum dan Sanitasi?

Gaung yang sudah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia dengan memperkenalkan istilah Universal Access untuk target pencapaian tahun 2019 atau kalau Ditjen Cipta Karya Kementerian PU menggunakan istilah 100-0-100 cukup sukses disosialisasikan kepada pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Namun supaya mudah dipahami pleh pembaca, apa yang dimaksud angka tersebut adalah pemenuhan akses air minum 100%, menghilangkan kawasan kumuh hingga 0%, dan 100% tidak ada lagi masyarakat yang buang air besar sembarangan (BABS) pada akhir tahun 2019.
Target ini dicanangkan untuk mewujudkan cita-cita menjadi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat dalam bidang pembangunan air minum, pemukiman dan sanitasi. Tentu ini cita-cita yang sangat baik dan perlu didukung oleh semua pihak. Walaupun ada yang menganggap bahwa target ini sangat muluk namun tetap saja pemerintah optimis. Mari kita hargai optimisme pemerintah ini.
image
Saya akan coba menggambarkan kondisi dan situasi di lapangan terkait sejauh mana ketersediaan akses air minum dan sanitasi terhadap angka-angka capaian saat ini dan gap yang jadi pekerjaan rumah untuk mencapai 100% tadi.
Jika saya membayangkan bahwa angka capaian air minum aman dan layak versi BPS tahun 2013 sebesar 67.7% untuk perpipaan dan non perpipaan, sementara akses sektor sanitasi sebesar 59.7%, maka dalam benak saya adalah masyarakat yang berada di angka tersebut sudah dengan mudah memperoleh (mengambil) air minum lqyak-aman dan membuang air besar dengan nyaman (baca: bersih dan sehat).
Tentu anda tidak dapat membayangkan jika angka-angka tersebut ternyata bagian dari masyarakat yang masih menggunakan sumur terbuka tidak terlindungi, mengangkat air dari mata air, atau sekedar numpang ambil air dari sumur bor yang sering mati. Sedangkan di bagian sanitasi mereka hanya menggunakan cubluk (sekedar lubang di tanah) untuk membuang air besar agar tainya terisolasi di satu tempat.
Ada contoh menarik ketika saya mengunjungi salah satu kabupaten di provinsi terbarat negeri ini yang menyatakan bahwa angka capaian akses air minumnya sudah mencapai 64% di akhir tahun 2014. Darimana angka tersebut diperoleh dan bagaima verifikasinya?
Kenyataannya ketika saya melakukan kunjungan di beberapa desa (gampong) di wilayah tersebut, seharusnya saya dengan mudah menemukan masyarakat mempunyai akses terhadap sarana air minum yang aman dan layak. Ternyata malah 100% penduduknya tidak ada akses sama sekali. Artinya tidak ada satupun penduduk gampong tersebut menggunakan sarana air minum yang aman dan layak. Sungguh memprihatinkan!
Asumsinya lagi jika saja di gampong tersebut sudah 30%-50% (berbasis data) memperoleh akses aman dan layak, maka saya dengan dibantu oleh warga setempat mudah menemukan sarana air minum yang layak dan aman tadi. Memang benar saya menemukan sarana yang mereka anggap aman dan layak tadi, namun sekedar sarana berupa sumur gali dangkal yang keruh dan kadang kering saat kemarau. Sumur gali inilah yang dianggap mereka layak dan ‘cukup” karena selama ini dapat menghidupi mereka dan memenuhi kebutuhan persoalan air sehari-hari.
Terus apakah ini yang sudah dianggap layak dan aman?
Saya pikir ini perlu kerja keras dari semua pihak agar target yang dicanangkan oleh pemerintah ini tidak sekedar target mimpi semata. Kita tahu bahwa untuk masalah data di negeri ini menghadapai masalah yang cukup serius. Pertama adalah masalah soal pemahaman definisi. Apa yang dimaksud dengan akses aman dan layak tadi. Jangankan untuk dipahami di tingkat desa, di Kementerian PU dan Kementerian Kesehatan pun masih saja sering terjadi perdebatan, bahkan muncul definisi sendiri-sendiri.
Kedua, bagaimana angka atau data itu diperoleh dan siapa yang melakukan? Saya tidak perlu menjelaskan ini karena sudah banyak yang tahu bahwa masing-masing kementerian dan lembaga tertentu punya cara sendiri memperoleh angka-angkanya.
Ketiga, bagaimana melakukan verifikasi datanya? Apakah menggunakan cara seperti saya tadi dengan mengunjungi desa-desa atau ada mekanisme lainnya?
Kemaren adalah peringatan Hari Kartini namun sampai hari ini saya masih melihat ibu-ibu dan anak-anak berjuang dan menghabiskan waktunya hanya sekedar mengambil air satu jirigen dari lereng gunung ke rumahnya berjarak 1-2 km.
Salam Hijau!
Ipehijau