Rendahnya partisipasi perempuan
Ketika mengunjungi salah satu desa di Sulawesi Tengah, saya melihat banyak perempuan hadir di rapat mengenai bagaimana pengelolaan sarana air minum di desanya. Kebetulan saat itu sarana air minum yang dibangun di desa tersebut tidak berfungsi akibat sebagian pipanya rusak karena pembangunan jalan. Sebenarnya kerusakannya hanya sepanjang 200 meter dari 4000 meter pipa yg terpasang. Sayangnya kerusakan pipa tersebut berada di jalur transmisi sehingga berdampak pada 2 dusun tidak terlayani.
Yang menarik dari pertemuan ini adalah bagaimana ibu-ibu dan remaja perempuan antusias duduk di depan untuk mendengar kepala desa dan pengelola air minum menjelaskan permasalahan kerusakan dan rencana perbaikannya. Antusiasme ini bukan tidak ada alasan karena selama ini mereka yang paling merasa kesusahan dalam kaitannya urusan air bersih dan sanitasi. Mereka ingat betul bahwa saat pemasangan pipa dari sumber air (mata air) hingga ke pemukiman, mereka dilibatkan (baca: disuruh) gotong-royong untuk membantu penggalian pipa, pemasangan pipa, dan penyediaan konsumsi. Namun sayangnya mereka jarang dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan keputusan untuk pengelolaan sarana pasca selesainya konstruksi. Bahkan ibu-ibu ini ingat betul tidak sekalipun diajak untuk mengambil keputusan dalam perencanaan awal. Jadinya, ketika sarana air minum tersebut selesai mereka masih saja merasa terganggu mana kala air tiba-tiba mati tanpa pemberitahuan apa-apa dari pihak pengelola. Mereka membayangkan bahwa ketika sarana rusak, mereka seharusnya bisa membantu dalam hal perbaikan-perbaikan, itu jika sejak awal perencanaan mereka dilibatkan.
Ibu-ibu ini hanya sempat senang selama beberapa bulan menikmati air yang mengalir di depan rumahnya melalui sambungan air tanpa meter air. Mereka senang karena sudah tidak lagi berjalan cukup jauh mengambil air ke mata air sekitar 500 meter hingga 1.5 km. Namun mereka seringkali ribut sesama ibu-ibu manakala air di depan rumahnya mati sedangkan masih ada beberapa rumah yang airnya hidup karena tidak ada pengaturan penggunaan air.
Ibu-ibu ini seringkali jengkel karena tiba-tiba pengelola sarana meminta uang untuk perbaikan kerusakan pipa. Mereka jengkel karena tidak menerima layanan air bersih dengan layak namun diminta untuk membayar iuran bulanan.
Perempuan memiliki andil lebih tinggi di sektor air minum dan sanitasi
Menurut UNICEF, tujuan keseluruhan pembangunan sektor air minum dan sanitasi adalah untuk mempromosikan kelangsungan hidup, perlindungan dan pengembangan anak-anak, dan untuk mempromosikan perubahan perilaku yang penting untuk mewujudkan manfaat penuh dari layanan air dan sanitasi. Tujuan ini dan lainnya tidak dapat dipenuhi tanpa partisipasi penuh wanita. Di sebagian besar dunia, perempuan dan anak perempuan secara tradisional bertanggung jawab atas penyediaan air bersih dan sanitasi rumah tangga, dan memelihara lingkungan rumah yang higienis.
Sebagai manajer di tingkat rumah tangga, perempuan juga memiliki andil yang lebih tinggi dalam perbaikan layanan air bersih dan sanitasi dan fasilitas penunjang.
Penting bahwa upaya untuk mempromosikan persamaan hak perempuan dan anak perempuan dan untuk mendukung partisipasi penuh mereka dalam pembangunan politik, sosial, dan ekonomi masyarakat mereka (UNICEF – Water, Sanitation & Hygiene).
Dalam program air minum dan sanitasi, pengelola program harus memastikan bahwa perempuan terlibat langsung dalam perencanaan dan pengelolaan program penyediaan air bersih dan sanitasi, dan bahwa intervensi promosi kesehatan & kebersihan dirancang khusus untuk menjangkau perempuan dan anak perempuan.
Hal demikian seharusnya juga tercermin di dalam program PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) dirancang untuk mengatasi ketidakadilan yang dialami perempuan terkait dengan layanan air bersih dan sanitasi. Jika pada dekade lalu perempuan diharusnya minimal 30 persen terlibat dan ikut berpartisipasi, maka dalam setahun belakang ini Bank Dunia dan DFAT telah meminta Pemerintah Indonesia untuk menaikan keterlibatan perempuan menjadi 40 persen di semua lini kegiatannya dalam pengelolaan program PAMSIMAS.
Perempuan dan anak perempuan menanggung beban pengambilan air
Menurut UNICEF, perempuan dan anak perempuan menanggung beban pengambilan air – dan akibatnya kehilangan kesempatan untuk pendidikan, kegiatan produktif atau waktu senggang. Perempuan dan anak perempuan juga membayar harga terberat untuk sanitasi yang buruk.
Ada banyak alasan, di luar dampak kesehatan dari sanitasi yang tidak memadai, mengapa ini menjadi isu prioritas bagi perempuan dan anak perempuan:
- Bebas dari pemenjaraan di siang hari
- Dalam banyak budaya, satu-satunya waktu yang tersedia bagi wanita atau anak perempuan untuk buang air besar, jika mereka tidak memiliki jamban, adalah setelah gelap atau malam hari. Terlepas dari ketidaknyamanan yang disebabkan oleh lama menunggu, hal ini bisa menyebabkan penyakit serius. Dan ada juga risiko pelecehan dan penyerangan selama berjalan-jalan malam hari ke dan dari ladang buang air besar komunal.
- Rendahnya anak perempuan ke sekolah dan ketidakhadiran di sekolah.
- Kurangnya fasilitas sanitasi dan cuci yang aman, terpisah dan pribadi di sekolah merupakan salah satu faktor utama yang anak perempuan tidak mau masuk sekolah, terutama saat menstruasi.
- Kurangi beban merawat orang sakit. Jika ada sarana air minum dan sanitasi yang aman dan layak, maka tidak ada beban untuk merawat orang sakit akibat buruknya sanitasi.
- Lebih dari separuh anak-anak di dunia terus-menerus terancam oleh bahaya lingkungan karena mereka sakit akibat kontak dengan kotoran manusia di lingkungan mereka. Merawat anak-anak yang sakit menambah beban kerja perempuan dan anak perempuan yang sudah berat.
- Lindungi ibu hamil dari penyakit. Tersedianya sarana air minum dan sanitasi memudahkan ibu-ibu hamil melakukan aktifitas sehari-hari, menjaga kesehatan kehamilannya, dan mudah membersihkan anak saat bayinya lahir.
Salam hijau,
Trimo Pamudji Al Djono