Kesalahan Opsi SPAM dan Risiko Stunting di Program Air Minum dan Sanitasi Perdesaan

Show all

Kesalahan Opsi SPAM dan Risiko Stunting di Program Air Minum dan Sanitasi Perdesaan

Desa berpenduduk besar namun minim infrastruktur
Beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi sebuah desa, namanya Desa Lingga di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Desa Lingga berpenduduk lebih dari 6000 jiwa, dominan ditempati warga dari Suku Madura, letaknya 40 menit dari Kota Pontianak, ibukota Kalimantan Barat. Desa ini sepertinya terisolasi dari maraknya pembangunan perkotaan mengingat minimnya infrastruktur fisik. Untuk masuk lebih dalam menuju Desa Lingga, lokasi pertemuan kami dengan warga, kami harus naik sepeda motor sepanjang lebih dari 10 KM atau selama 45 menit. Masalahnya adalah jalan di desa ini hanya muat untuk roda dua saja. Jalan desa seperti jalan setapak hanya dengan lebar antara 0.8 sd 1.5 meter.
Dalam perjalanan menuju desa, seringkali kami berpapasangan dengan sepeda motor lainnya, jika demikian kedua belah pihak harus saling memperlambat laju kendaraan untuk menghindari tabrakan.
Sepanjang jalan, saya sempat bertanya kepada pemuda yabg membonceng saya mengenai bagaimana caranya warga desa mengangkut segala peralatan rumah tangga dan bangunan hanya dengan menggunakan sepeda motor? Praktis dia bilang semua diangkut dengan kendaraan roda dua atau sejenisnya. Terbayang andai saat itu saya melihat ada warga desa membawa kulkas dua pintu, maka cukup sudah bagi saya membayangkan penderitaannya. ?
Lingga 2
Sepanjang jalan itu pula, saya melewati rumah-rumah yang letaknya tidak begitu rapat antara satu dengan lainnya. Masing-masing rumah memiliki halaman cukup luas. Bangunan rumah sangat sederhana, terbuat dari kayu dan sebagian ada yang ditembok diplester.
Kami melewati beberapa kebun karet diantara beberapa pemukiman penduduk. Pada saat melewati kebun karet, kami terpaksa harus berjalan perlahan karena jalan yang rusak dan becek dimana sering dipakai untuk angkut hasil sadap karet.
Terdapat sungai kecil dengan lebar 2-3 meter yang memanjang searah kami menuju desa dan tempat pertemuan. Sungai ini berwarna hitam kecoklatan khas air gambut di Kalimantan. Sepanjang sungai itu pula saya melihat beberapa bangunan sederhana berupa tangga-tangga dari kayu yang adakalanya ada bangunan penutup sederhana untuk kegiatan mandi dan cuci. Sungai ini memang untuk kegiatan mandi dan cuci, tanpa kegiatan kakus atau buang air besar. Nampaknya warga Desa Lingga sudah sadar dan sepakat untuk tidak buang air besar di sungai.
Menurut warga setempat, sungai inilah sumber air satu-satunya yang diandalkan warga Desa Lingga untuk urusan air bersih dan sanitasi. Konon di sepanjang musim, sungai ini tidak pernah kering. Sehingga memang benar-benar diandalkan.
Selain sungai, air hujan adalah pilihan kedua sebagai sumber air. Air hujan hanya diperuntukan sebagai air pembilas untuk pakaian dan peralatan dapur. Mereka tidak menggunakan air hujan karena rasanya yang dianggap aneh.
Lingga 4
Walaupun desa ini dominan penduduknya berasal dari Suku Madura, namun saya tidak merasa seperti berada di lingkungan warga Madura yang terkesan seenaknya dan kasar, seperti ketika masa kecil pertemanan saya dengan Suku Madura di Surabaya. Warga Desa Lingga sangat santun dan ramah.
Walaupun mereka adalah Suku Madura, sebenarnya mereka sudah menjadi penduduk asli Kalimantan. Kenyataannya mereka sudah menempati Desa Lingga sejak puluhan tahun lalu, turun-temurun tinggal di Desa Lingga. Banyak dari mereka bahkan tidak pernah tahu dimana letaknya Pulau Madura.
Diduga stunting
Sebelum diskusi dengan warga setempat di sebuah bangunan yang letaknya disamping Sekolah Dasar, saya menyempatkan melihat kondisi lingkungan desa dan ngobrol dengan beberapa orang murid. Lingkungan desa ini sebenarnya relatif bersih, kecuali sungai depan sekolah yang nampak hitam pekat dan terkesan kotor. Namun jika diamati lebih cermat, sebenarnya sungai ini bisa dibilang bersih, tidak ada tinja dan kotoran lainnya. Warna hitam dikarenakan kandungan organiknya tinggi menyebabkan warna sungai menjadi hitam-kecoklatan, ciri khas dari air gambut.
Sepintas tinggi rata-rata anak sekolah dasar disini relatif pendek dibandingkan dengan wajarnya anak-anak kota seusianya. Seorang anak kelas 4 SD seusia anak saya terlihat lebih pendek. Beberapa pemuda yang membonceng kami naik sepeda motor, tinggi tubuh mereka pun relatif pendek walau jauh dikatakan cebol.
Saya melakukan foto bersama dengan anak-anak SD dan SMP setempat, sembari foto saya coba mengamati bentuk fisik mereka. Saya sedikit tambah yakin kalau anak-anak disini mempunyai rata-rata tinggi badan yang relatif pendek dibandingkan seusianya.
Saya sempat berpikir bahwa ini ada kaitannya dengan risiko stunting (https://keluarga.com/2391/stunting-apa-itu) yang disebabkan karena gizi buruk dan minimnya sarana air bersih-sanitasi. Fokus saya pada minimnya sarana air bersih dan sanitasi.
Dengan melihat situasi seperti itu dalam beberapa menit saja, tentu saya tidak serta-merta menyimpulkan bahwa mereka terkena risiko stunting. Perlu kajian lebih dalam untuk membuktikannya.
Lingga 1
Menurut warga setempat, kasus diare sering terjadi di Desa Lingga akibat buruknya air bersih dan sanitasi. Selain diare, kasus penyakit tuberculosis (TBC) juga sering terjadi. Kepala Puskesmas Lingga, dr Willian Daniel Napitupulu mengungkapkan sejak tahun 2016 sampai 2017 penyakit tuberkulosis selalu ada. Tercatat, tahun 2016 ada 31 kasus dan 2017 ini sampai September 33 kasus (sumber berita online) .
Soal stunting, seorang tokoh desa sekaligus guru sekolah desa bercerita mengenai pengalaman mengantarkan muridnya ikut lomba di Kota Pontianak. Muridnya seringkali kalah lomba ketangkasan dengan murid-murid seusianya. Awalnya dia protes kenapa lawannya kok bertubuh besar-besar sedangkan muridnya dengan usia yang sama tubuhnya kecil. Guru ini mengira bahwa lawan muridnya lebih tua dibandingkan dengan muridnya sendiri. Setelah mendengar soal stunting, guru ini baru sadar, ah.. jangan-jangan muridnya memang benar terkena risiko stunting.
Nilai manfaat dan fungsi dibangunnya sarana air bersih
Kami diskusi dengan warga mengenai sarana air bersih yang dibangun oleh pemerintah melalui program pemberdayaan masyarakat di Desa Lingga. Kami diskusi terkait dengan manfaat dan fungsi sarana yang telah dibangun.
Warga Desa Lingga telah membangun sarana berupa bangunan rumah untuk meletakkan bak-bak penampung air, tabung filter, pompa, serta filter khusus menggunakan teknologi reverse osmosis. Kapasitas sarana terbangun ini layaknya depo air isi ulang.
Secara teknologi memang sama persis dengan teknologi yang digunakan depo-depo air isi ulang, yang membedakan adalah sumber air yang digunakan berasal dari sumur bor dalam, bukan air dari sumber mata air pegunungan yang biasa disuplai melalui truk tangki. Sumur bor dibangun persis disamping bangunan reverse osmosis, di lokasi area gambut.
Lingga 3
Pemanfaat sarana air minum hanya sedikit, yaitu sebagian kecil mereka yang tinggal dekat sarana terbangun. Mereka memanfaatkan sarana air minum dengan cara membeli air layaknya di depo air isi ulang menggunakan botol galon. Harga satu botol galon isi 19 liter dipatok 4 ribu rupiah.
Bangunan ini bukan merupakan SPAM atau sistem penyediaan air minum yang terdiri dari sumber air, sistem perpipaan (transmisi dan distribusi), dan bangunan pelayanan. Bisa dikatakan bahwa bangunan ini termasuk jenis non perpipaan.
Tujuan dari pelayanan SPAM untuk melayani sebanyak mungkin warga menggunakan sistem perpipaan dan sambungan rumah tidak tecapai. Walaupun secara fungsi bangunan ini berfungsi baik, namun secara manfaat tidak banyak warga yang memperoleh manfaat dari bangunan ini.
Saya yakin keberlanjutan sarana bangunan ini bakal terganggu akibat beban operasi dan pemeliharaan yang tinggi ditanggung oleh sedikit warga yang menikmati. Secara program tujuan dari pembangunan sarana air minum di Desa Lingga tidak tercapai.
Saya sungguh sangat menyayangkan capaian desa ini untuk urusan air bersih yang jauh tertinggal dari desa lainnya di Indonesia. Tim pendamping semestinya turut bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dihasilkan di desa ini.
Jika alasan yang dikemukakan bahwa opsi teknologi SPAM yang dipilih adalah terbaik yang diinginkan warga desa karena mereka menganggap bahwa jika program hanya membangun sarana untuk menghasilkan air bersih saja (bukan air siap minum), maka air gambut dari sungai di depan rumahnya sudah cukup dianggap bersih. Yang pasti temuan ini mengagetkan kami.
Saat kunjungan ke desa lainnya di wilayah Kabupaten Kubu Raya, saya melihat bahwa opsi teknologi yang dibangun di desa-desa tahun 2014 dan 2015 hampir semuanya tipikal, yaitu reverse osmosis-depo air isi ulang.
Pertanyaan adalah apakah bangunan yang tipikal ini merupakan permintaan seluruh warga dari desa-desa tersebut? Apakah program berbasis masyarakat ini memang ada pilihan (opsi) pembangunan sarana air minum seperti itu?
Saya merasa tidak yakin bahwa program berbasis masyarakat yang memungkinkan segala pilihan teknologi harusnya disesuaikan kondisi setempat, pilihan berbasis IMAS (identifikasi masalah dan analisa situasi), melayani banyak warga, dan tentu harus dapat menjamin keberlanjutan serta pengembangan hingga 100 persen dapag melayani warga desa.
Jika demikian, maka asumsi saya soal risiko stunting di Desa Lingga ini bakal terus berlanjut entah sampai kapan.
Salam hijau,
Trimo Pamudji Al Djono
(Direktur IPEHIJAU)