Berikut ini adalah catatan hasil diskusi kami dengan para pelaku dan pengambil kebijakan program air minum dan sanitasi.
STBM tidak menjangkau warga termiskin
Fakta bahwa STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) sudah cukup berhasil meningkatkan akses sanitasi dengan prinsip tanpa subsidi, namun ada kelompok masyarakat (sangat miskin) yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan akses tanpa dukungan pihak lain. Studi Poverty Diagnostic yang dilakukan oleh Bank Dunia menemukan bahwa biaya merupakan salah satu kendala terbesar pada kelompok masyarakat sangat miskin. Selain itu, meski tanpa subsidi, di lapangan banyak pembiayaan yang dapat dimanfaatkan untuk membantu kelompok ini. Di Program Pamsimas, KKM (Kelompok Keswadayaan Masyarakat) dan BPSPAMS (Badan Pengelola Sistem Penyediaan Air Minum dan Sanitasi) sebagai pengelola di tingkat desa sebenarnya ada sedikit dana yang mungkin dapat digunakan untuk membantu warga yang sangat miskin. Bahkan melalui Pamsimas, terdapat fasilitasi untuk mendorong berbagai pendanaan melalui mekanisme kolaborasi agar dapat diperoleh berbagai dana untuk mendorong percepatanan peningkatan akses sanitasi. Untuk itu target ini harus muncul di RKM 100% (Rencana Kerja Masyarakat untuk target 100%).
Fakta lainnya, setelah 10 tahun berjalan masih ada aspek yang perlu diperkuat, salah satunya adalah belum terjangkaunya kelompok sangat miskin mendapatkan akses sanitasi. Inisiatif bahwa kelompok sangat miskin perlu dibantu tentu diharapkan tidak merubah model dan prinsip STBM tetapi merupakan sebuah fitur tambahan untuk STBM yang sudah ada saat ini. Dalam konteks Pamsimas, inisiatif ini akan memperkuat siklus Pamsimas, terutama terkait sanitasi.
Kendala mengenai Sanitarian di Puskesmas yang sulit diandalkan, apalagi yang bukan berlatar-belakang kesehatan lingkungan merupakan pekerjaan rumah lainnya yang juga perlu dibereskan. Mengenai update data, apakah sudah mencapai target yang diharapkan, termasuk kelompok sangat miskin, maka perlu dipikirkan bagaimana peran Sanitarian dapat diperkuat.
Soal pendanaan memang benar bahwa di lapangan banyak inisiatif dan dana, misal dari APBD, DAK Sanitasi, dan Dana Desa, belum termasuk sumber dana dari CSR dan NGO. Hanya saja mekanisme kolaborasi belum optimal yang membuat semua program dan pendanaan tidak mencapai target dan tujuan yang sama. Terkait target dibutuhkan verifikasi data antara fasilitator, sanitarian dan BPSPAMS yang sering berbeda-beda.
BLM STBM untuk warga miskin
Jika memang benar ada BLM (bantuan langsung masyarakat), dana ini dapat digunakan untuk pembangunan fisik dan non-fisik, termasuk kegiatan-kegiatan pertemuan, update data, dan sebagainya. Namun perlu disadari bahwa BLM ini diharapkan dapat menjadi alat atau stimulan untuk mendorong pendanaan lain. Pada prakteknya jika perlu harus ada proposal untuk mendapatkannya, diputuskan oleh masyarakat, ditanda-tangan kades dan diverifikasi oleh sanitarian. Ini sekedar contoh delivery mechanism-nya.
Inisiatif ini tidak mengganti prinsip STBM karena pondasinya tetap STBM, yaitu perubahan perilaku. BLM ini diharapkan dapat mendorong STBM untuk lebih efektif. Hanya perlu dipastikan bahwa meskipun dana BLM ini dapat digunakan untuk fisik dan non-fisik, jumlah fisik terbangun adalah indikator yang diukur.
Pengelola program harus yakin bahwa warga di desa itu sebenarnya punya kemampuan untuk mengelola dirinya, termasuk keuangannya. Warga desa perlu diedukasi agar paham bahwa pembangunan tidak hanya menggunakan uang pemerintah tetapi juga uang sendiri. Jika pun pada akhirnya ada uang BLM, maka perlu dicantolkan di pemerintah kabupaten, selanjutnya perlu disampaikan bahwa desa harus menyiapkan dana dampingan, tentunya selain dana dari pemerintah kabupaten itu sendiri. Jadi harapannya adalah BLM ini untuk membangun kolaborasi dan memobilisasi pendanaan lainnya untuk mencapai tujuan bersama, yaitu universal access.
Walaupun ide bantuan untuk masyarakat miskin dalam bentuk BLM ini sebenarnya sudah sering dibicarakan di Kemenkes bersama mitra-mitra STBM, namun yang sering lupa adalah bagaimana memastikan target beneficiaries (by-name-by-address/BNBA) dan delivery mechanism-nya. Selama ini yang banyak berperan di lapangan adalah Fasilitator Masyarakat dan sanitarian yang memang harus terus diperkuat, selanjutnya adalah bagaimana mendorong mereka dapat mendampingi kelompok B20 dan B40 (Bawah 20 dan 40 atau kelompok termiskin) agar segera mendapatkan akses sanitasi yang layak. Bahwa memang benar dana ada, tetapi bagaimana dana stimulan ke kelompok sangat miskin yang memiliki kendala biaya dan teknologi itu dapat benar-benar efektif dan menjadi stimulan bagi pendanaan lain dengan transparan dan akuntabel? Tentu hal ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk mewujudkannya.
Salam Hijau,
Trimo Pamudji Al Djono (Direktur Ipehijau, dosen, dan bekerja di lembaga pembangunan international)