Pemerintah Indonesia sudah komitmen untuk pencapaian 100% akses air minum dan sanitasi pada tahun 2019 melalui program besar yang dikenal Universal Access. Komitmen ini diwujudkan melalui berbagai program-program air minum dengan penyediaan dana APBN dan APBD. Kita mengenal beberapa program reguler di perkotaan dan pedesaan, seperti: pengembangan RISPAM, optimalisasi PDAM, SPAM Regional, Sanimas, PAMSIMAS, dan sebagainya.
Pada sektor air minum, menarik untuk dikritisi bahwa saat ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan perlu dukungan pemerintah atas kesiapannya dalam penyediaan teknologi daur ulang air. Kritik perlu disampaikan atas berbagai persoalan dalam pengolahan air minum yang gagal akibat sumber air mempunyai kualitas buruk.
Sebelum melangkah pada teknologi daur ulang yang berguna untuk mengolah air limbah menjadi air layak guna, perlu dibereskan dulu permasalahan kualitas sumber air untuk diolah sebagai air minum sebagai kebutuhan sehari-hari. Persoalan air gambut di banyak kabupaten di Kalimantan Selatan hingga saat ini meninggalkan masalah gagal olah yang menyebabkan sarana air minum yang sudah dibangun menjadi tidak berfungsi.
Jika BPPT mengatakan bahwa beberapa teknologi yang sudah dikembangkan untuk mengatasi permasalahan air meliputi teonologi geospasial, remote sensing daerah potensial air dan mata air, hingga teknologi untuk mengetahui daerah yang mengalami kerusakan lingkungan dan pencarian sumber air. Sejumlah teknologi lainya yang sudah dibuat BPPT, diantaranya teknologi pengolahan air keruh, air asin, gambut, dan air berkadar kapur tinggi.
Sementara itu, silakan saja terus mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi daur ulang yang memang semakin mendesak mengingat krisis air bersih sudah di depan mata karena meningkatnya kebutuhan air bersih. Di Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar misalnya konsumsi air bersih atau air baku mencapai 15-18 meter kubik per hari. Jika 10% saja bisa didaur ulang untuk dimanfaatkan kembali maka hal itu sudah cukup besar. Air ini bisa digunakan untuk menyiram tanaman dan membersihkan toilet. “Bahkan dengan teknologi reverse osmosis daur ulang bisa digunakan untuk air minum, hanya ada keengganan karena soal etika saja”, kata Arie Herlambang Kepala Balai Teknologi Lingkungan BPPT, disela seminar Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Kelestarian Bumi Indonesia di Puspitek Serpong,Tangerang Selatan, Rabu (22/4) minggu lalu.
Kembali kepada kritik diatas bahwa masih ada masalah soal kualitas sumber air yang masih butuh perhatian lebih, maka apa yang sudah BPPT buat itu menjadi sia-sia jika tidak digunakan di tengah-tengah masyarakat. Saya melihat persoalan air bersih di program PAMSIMAS masih butuh bantuan untuk pengembangan teknologi. Saya melihat tidak ada opsi pengolahan air gambut di dalam Katalog Pilihan Teknologi Air Minum disediakan oleh PAMSIMAS.
Jika dikatakan bahwa BPPT butuh dukungan pemerintah, maka siapa sebenarnya yang harus berinisiatif untuk melakukan diskusi? Kementerian Pekerjaan Umum yang selama ini sebagai pengelola teknis mungkin merasa sudah mampu mengatasi persoalan pengolahan air bersih. Sementara itu BPPT merasa apa yang sudah mereka lakukan sepertinya kurang mendapat penghargaan dari pemerintah. Saya tidak tahu siapa yang seharusnya memfasilitasi ini?
Jika benar bahwa semua teknologi pengolahan air bersih sudah tersedia di BPPT, tentunya hal ini akan sangat membantu banyak program pembangunan air bersih di Indonesia.
Saya sendiri sangat yakin bahwa teknologi sebenarnya sudah ada sejak dulu, namun komitmen bersama untuk saling dukung, niat membantu dan menghargai yang sebenarnya perlu ditingkatkan.
Salam Hijau!
Ipehijau