Perdagangan karbon diartikan sebagai skema di mana terjadi aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu melakukan penyerapan emisi karbon secara alami, seperi negara-negara tropis yang mempunyai hutan alam tropis basah seperti Indonesia dan Brasil.
Negara-negara berkembang yang masih memiliki carbon credit yang banyak dibandingkan dengan negara industri bisa menjual carbon credit-nya kepada negara yang memproduksi emisi. Jadi sebenarnya ini hanyalah jual beli di atas kertas belaka. Ini adalah sistem pay of performance, bukan sistem jual beli di mana ada komitmen uang langsung ada.
Negara yang membeli karbon kredit dari Indonesia akan melihat apakah dalam beberapa tahun yang dikomitmenkan benar-benar dapat menurunkan emisi karbon. Indonesia sendiri sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antar negara.
Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B Pandjaitan, terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon yang nilainya berkisar antara 82 miliar sampai 100 miliar dollar AS. Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.
Sebelum perangkat regulasi perdagangan karbon disiapkan, Indonesia telah mencoba kerja sama dengan pemerintah Norwegia, semacam imbal beli karbon dalam bentuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) pada tahun 2010 selama 10 tahun. Indonesia dijanjikan imbal beli atau result base payment (RBP) sebesar total satu miliar dollar AS (6 miliar kroner Norwegia/NOK) sebagaimana yang tertulis dalam kerja sama Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) antara dua negara itu.
Dengan berbagai persyaratan yang diminta Norwegia, di antaranya adalah menghentikan sementara penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (moratorium) dan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai institusi pengelola dana RBP REDD+ di daerah.
Semua permintaan tersebut sudah dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Namun sampai dengan batas waktu akhir perjanjian tersebut; faktanya Norwegia tidak pernah memenuhi janji untuk membayar dana yang dimaksud. Padahal dana kompensasi tersebut sangat diperlukan untuk mendukung aksi-aksi Indonesia mendorong rehabilitasi hutan dan penanggulangan degradasi dan deforestasi hutan di lapangan.
Karena itu dengan berat hati pada 10 September 2021, Indonesia secara sepihak mengakhiri kerja sama dengan Norwegia tentang perdagangan karbon karena tidak ada kejelasan realisasi pembayaran tahap pertama yang dijanjikan.
Dalam skala kecil dan terbatas pengalaman menarik diperoleh masyarakat yang mendiami desa-desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2018, mendaftarkan Bujang Raba ke pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo.
Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektare atau 1,052 ton setara CO2 per hektare.
TUI Airways membeli 6.000 ton. TUI Airways adalah perusahaan penerbangan di Eropa. Perusahaan ini membayar 36 ribu dolar (sekitar Rp 400 juta) untuk 6.000 ton cadangan karbon (carbon sink) dari kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba).
Penyiapan Regulasi
Dengan pengalaman yang disebut di atas, Indonesia mencoba menyiapkan regulasi perdagangan karbon yang lebih detail melalui Peraturan Presiden 98/2021 tentang nilai ekonomi karbon. Pada dasarnya, Perpres 98 mengatur mekanisme perdagangan karbon.
Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Nomor 21/2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon pada 21 September 2022. Permen 21/2022 soal aturan teknis perdagangan karbon.
Perdagangan karbon merupakan satu instrumen menurunkan emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim. Ketentuannya merupakan kesepakatan 197 negara dalam Perjanjian Paris 2015. Perjanjian Paris sekaligus menggantikan Protokol Kyoto yang mengatur penurunan emisi dengan membagi kelompok negara maju yang wajib menurunkan emisi dan negara berkembang yang tidak wajib.
Perjanjian Paris 2015 mewajibkan para pihak (parties) yang meratifikasinya menurunkan emisi gas rumah. Targetnya pada 2030 penurunan emisi bisa menghindarkan kenaikan suhu 1,50 Celsius dibanding masa pra-industri 1800-1850.
Kenaikan suhu bumi merupakan akibat pemanasan global yang mengakibatkan krisis iklim berupa bencana iklim. Untuk mencegah suhu Bumi naik, dunia harus menurunkan produksi emisi gas rumah kaca sebanyak 45 persen dari rata-rata tahunan 51 miliar ton setara CO2.
Hingga Konferensi Iklim COP26 tahun lalu, proposal penurunan emisi dalam nationally determined contribution (NDC) tiap negara hanya sanggup menurunkan emisi 25 persen.
Emisi adalah resultante dari aktivitas manusia dan kegiatan ekonomi. Namun, emisi yang menyebabkan pemanasan global jika ia terlepas ke atmosfer sehingga mengurangi kemampuannya menyerap emisi dan panas dari Bumi dan Matahari. Pelepasan emisi ke atmosfer disebut emisi gas rumah kaca.
Dalam Peraturan 21/2022, emisi yang diperdagangkan adalah emisi gas rumah kaca yang dihitung dengan pengukuran yang disepakati. Pada dasarnya, perdagangan emisi dalam peraturan ini ada empat: perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja (result-based payment), pungutan atas karbon, dan mekanisme lain sesuai perkembangan ilmu dan teknologi.
Cap and Trade dan Carbon Offset
Ada dua jenis perdagangan emisi yang diakui peraturan itu. Pertama, cap and trade yakni perdagangan karbon antar dan lintas sektor para pelaku usaha. Ada lima sektor yang ditetapkan sesuai dengan NDC: energi, kehutanan dan penggunaan lahan, pertanian, limbah, serta industri dan proses produksi.
Menteri tiap sektor menetapkan batas emisi (cap) yang boleh diproduksi oleh tiap pelaku usaha. Mereka yang memproduksi emisi lebih dari batas itu, wajib membeli kelebihannya kepada mereka yang memproduksi emisi lebih rendah dari batas tersebut.
Kedua, carbon offset. Offset adalah pengimbangan. Pengimbangan emisi untuk sektor yang tak memiliki kuota. Mereka yang memproduksi emisi lebih besar dari baseline, bisa membeli kelebihan emisi tersebut kepada mereka yang menyediakan usaha penyerapan karbon. Offset emisi bisa dilakukan melalui bursa karbon atau perdagangan langsung antar penjual dan pembeli.
Menurut Peraturan Tata Laksana Ekonomi Karbon, semua pembayaran terkait perdagangan emisi harus melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Jika ada surplus pengurangan emisi yang tidak diperdagangkan pada tahun tertentu, pelaku usaha bisa menyimpannya untuk diperdagangkan dalam dua tahun berikutnya.
Semua produksi dan pengurangan emisi harus tercatat, terdokumentasi, dan terverifikasi oleh pemerintah atau pihak ketiga yang independen. Verifikasi menjadi basis kualitas pengurangan dan penyimpanan karbon sebagai angka yang disepakati untuk diperdagangkan di pasar karbon.
Dengan begitu, perdagangan karbon bisa dikuantifikasi menjadi transaksi komoditas baru yang berdampak tak hanya pada lingkungan, juga ekonomi.
Bursa Karbon
Selain karbon diperdagangkan secara langsung, karbon dapat diperdagangkan seperti saham. Karbon dapat diperdagangkan di bursa. PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/ MoU) dengan Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA) terkait pengembangan perdagangan karbon di Indonesia pada 10 November 2022.
Dalam kesepakatan tersebut, bentuk potensi kerja sama perdagangan karbon yang dapat dilakukan keduanya yaitu mengadakan diskusi serta knowledge sharing bersama sekaligus dengan pihak ketiga dalam rangka pengembangan perdagangan karbon dan memperkenalkan dan melakukan evaluasi bersama berbagai solusi dalam rangka penyelenggaraan perdagangan karbon.
Selain itu, kerja sama juga meliputi penyelenggaraan kegiatan edukasi kepada stakeholders terkait, atau bentuk kerja sama lainnya dalam lingkup pengembangan perdagangan karbon.
Sebelumnya, PT Pertamina menggandeng BEI dalam perdagangan karbon.
Potensi kerja sama perdagangan karbon yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan infrastruktur perdagangan karbon BEI dalam melaksanakan transaksi perdagangan karbon melalui bursa karbon di Indonesia. Selanjutnya, pengembangan ekosistem perdagangan karbon nasional, pilot perdagangan karbon internal dan atau internasional, sharing knowledge terkait pengembangan bisnis perdagangan karbon nasional dan atau internasional dan bentuk lainnya.
Sebagai pihak yang berpotensi menyelenggarakan bursa karbon di Indonesia, BEI berupaya mendapatkan masukan serta dukungan dari berbagai pihak untuk menciptakan infrastruktur bursa karbon yang selaras dengan mandat pemerintah dan sesuai kebutuhan dari seluruh pelaku pasar.
Sementara itu, IDCTA sebagai asosiasi yang menjadi wadah bagi para praktisi, pengusaha, pengembang, investor, pedagang, maupun berbagai pihak dengan kepedulian besar terhadap perdagangan karbon Indonesia bermaksud untuk memberikan masukan kepada BEI terkait pengembangan perdagangan karbon
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Perkembangan Perdagangan Karbon di Indonesia”, Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2023/03/10/112921926/perkembangan-perdagangan-karbon-di-indonesia?page=all.
Editor : Egidius Patnistik