Air Bersih dan Musim Kemarau
Musim kemarau saat ini diperkirakan bakal lebih lama. Konon akibat dampak Elnino, maka hujan diperkirakan baru akan terjadi di sekitar bulan Desember. Wilayah di Jawa, Sulsel, Lampung, Bali, NTB, dan NTT telah mengalami hari tanpa hujan berturut-turut yang sangat panjang. Wilayah-wilayah tersebut sudah kering sejak Mei 2015 sesuai dengan pantauan Peta Pemantauan Hari Tanpa Hujan milik BMK. Lebih lanjut, fenomena El Nino yang memengaruhi panjang kemarau 2015 ini selanjutnya dapat menyebabkan awal musim hujan 2015/2016 di beberapa daerah mengalami kemunduran.
Bagi warga pedesaan, kondisi saat ini sungguh sangat memprihatinkan karena mereka kesulitan mendapatkan air bersih. Sumur warga yang biasa dipergunakan untuk mandi cuci dan masak sudah kering. Mereka menggantungkan beberapa fasilitas air bersih yang dibangun oleh pemerintah melalui program pemberdayaan, seperti Pamsimas, DAK, PPIP dan PNPM Mandiri.
Air sumur yang biasa mereka gunakan sudah kering dan kualitasnya yang tidak baik, namun mereka masih menggunakannya karena terpaksa. Warga lainnya mengambil air di sumber mata air atau sungai kecil di gunung, mereka harus berjalan kaki 500 meter hingga 1,000 meter untuk sekedar membawa 1-2 jirigen berisi 20 liter. Sungguh sangat melelahkan ditengah panas terik musim kemarau.
Sementara itu warga yang tinggal di pesisir dan dataran rendah, mereka harus membeli air dari penyedia air denga harga yang tidak murah. Setiap hari mereka mengeluarkan biaya Rp.20.000 per gerobak yang cukup untuk1-2 hari saja. Bisa dihitung berapa pengeluaran bulanan untuk menyediakan air bersih?
Sungai dimana-dimana kering. Warga harus berjalan kaki lebih jauh untuk mencari sumber air yang masih tersedia air. Hal ini membutuhkan waktu dan tenaga yang luar biasa. Banyak waktu terbuang hanya untuk mengambil air. Kegiatan ekonomi terganggu.
(Sumber foto dari program Pamsimas)
Operasi dan Pemeliharaan
Mereka yang antri mengambil air di sarana berupa sumur bor. Sarana air bersih ini menggunakan pompa dan listrik sebagai pasokan energinya. Butuh biaya bulanan untuk membayar listrik. Jika kondisi normal operasi pompa hanya dilakukan pagi dan sorei. Namun pada saat kemarau seperti sekarang, operasi pompa dilakukan sepanjang hari kebutuhan yang tinggi tetapi kapasitas pompa minim.
Warga telah menunjuk pengelola untuk mengurusi operasi dan pemeliharaan. Tugas pengelola adalah melakukan operasi harian untuk menjamin pasokan air mengalir setiap saat, 24 jam. Tugas lain melakukan pemeliharaan rutin perbaikan kerusakan bak, pipa dan pompa. Tugas ini tidak mudah terlebih dilakukan secara sukarela dan butuh biaya.
Warga berbondong-bondong antri mengambil air di sarana air bersih. Mereka mengeluh kenapa air tidak disambung ke rumah-rumah mereka? Mereka mengatakan sanggup mengganti biaya perpipaan dan iuran bulanan. Pada kondisi seperti ini mereka sadar arti penting dari air bersih.
Jika melihat kilas balik, pengalaman mengelola sarana air bersih pedesaan dijamin keberlanjutannya jika adalah ada peran serta masyarakat untuk kontribusi pada pemeliharaan sarana. Jika tugas operasi dan pemeliharaan sarana diserahkan ke pengelola, maka warga diharapkan mau berkontribusi rutin dalam bentuk membayar iuran bulanan. Iuran ini yang selanjutnya dipakai untuk operasi dan pemeliharaan tadi.
Berapa besar biayanya?
Tentunya harus dihitung secara cermat bersama masyarakat, terbuka dan akuntabel. Biaya pengeluaran untuk operasi digunakan untuk membayar listrik, honor pengelola, minyak diesel (jika menggunakan genset), mengganti sparepart, dan sebagainya. Sedangkan biaya pemeliharaan digunakan untuk mengganti jika terjadi kerusakan-kerusakan. Perlu dihitung juga biaya untuk pengembangan sarana agar seluruh warga desa dapat dilayani secara mandiri dengan melakukan perluasan jaringan pipa.
Harga Air
Harga air akan menjadi mahal ketika air itu langka. Pada saat musim kemarau, sumber-sumber air menjadi kering sehingga sering terjadi kelangkaan air. Air menjadi sangat berharga dibandingkan dengan barang-barang lainnya. Hal ini kadang hanya disadari pada saat musim kemarau terjadi. Sayang saat seperti ini tidak segera dimanfaatkan oleh pengelola untuk melakukan sosialisasi kembali mengenai pentingnya kontribusi rutin melalui iuran bulanan. Padahal ada banyak sarana rusak hanya karena tidak ada biaya iuran bulanan.
Pengelola sering kesulitan melakukan sosialisasi untuk menyadarkan warga tentang arti pentingnya air dan kontribusi masyarakat untuk menjaga keberlanjutan sarana. Sering warga tidak tahu mengerti arti harga air yang harus dibayarkan. Beberapa pengalaman berguna untuk menyadarkan warga tentang arti harga air yang dikonversikan dari kegiatan mereka sehari-hari. Penting bahwa warga harus sadar harga air. Harga air harus dikonversikan dari kegiatan-kegiatan dan tindakan-tindakan ekonomi yang masyarakat biasa lakukan ketika belum ada sarana air bersih dibangun. Beberapa contoh yang dapat dikonversi menjadi harga air adalah sebagai berikut:
(1) Mengambil air di gunung dengan jalan kaki 1 Km dari rumah ke sumber air
(2) Membeli air dari gerobak dorong dengan harga lebih mahal dan kualitas tidak layak
(3) Kehilangan waktu bermain dan belajar
(4) kehilangan waktu menemani anak belajar
(5) Kehilangan waktu membuat jahitan baju dan menenun lebih banyak
(6) Sakit paru-paru karena lebih mementingkan merokok daripada bayar iuran air.
(7) Kejangkitan penyakit-penyakit akibat sanitasi buruk: diare, cacingan, penyakit kulit, dsbnya.
Air sudah bukan lagi benda sosial.
Air menjadi benda sosial ketika warga dengan bebas mengambil air di sungai, mata air, air laut, air hujan, dan lainnya yang tentunya butuh upaya khusus yang harus dilakukan. Di desa-desa, banyak warga menggunakan sungai dan air permukaan lainnya untuk melakukan aktifitas mandi cuci dan kakus (MCK). Beruntung bagi warga desa yang masih mempunyai sumber air yang jernih dan bersih. Sedangkan warga yang tinggal di perkotaan tentu hal ini sudah sangat langka, bahkan tidak ada.
Kemudahan memperoleh air membutuhkan biaya yang relatif tinggi. Biaya ini diperuntukan membawa air dari gunung ke rumah-rumah dengan perpipaan, mengolah air keruh menjadi air layak pakai yang siap disalurkan ke sambungan rumah, menyalurkan air dengan tekanan yang memadai agar dapat dipakai untuk menggelontor kotoran di gedung-gedung inggi, dan sebagainya.
Penulis masih ingat ketika ada diskusi soal kesepatan penerapan iuran antara warga dan pengelola, sbb:
“Pak, kenapa kami harus membayar air padahal air mengalir sendiri dari gunung ke rumah kami?”, tanya seorang warga.
“Jika bapak/ibu ingin air gratis, maka dipersilakan untuk mengambil air langsung dari gunung. Silakan jalan kaki 1-2 km seperti dulu dari rumah ke suber air. Perlunya iuran bulanan adalah untuk biaya perawatan pipa dan bak penampung yang tentunya butuh perawatan agar tidak rusak.”, jawab pengelola.
“Bagi kami, air sudah tidak lagi menjadi benda sosial karena untuk kemudahan kami membutuhkan biaya”, lanjut pengelola