Bagaimana Gender dan Inklusi Sosial (GESI) di Pembangunan Infrastruktur Pedesaan?

Show all

Bagaimana Gender dan Inklusi Sosial (GESI) di Pembangunan Infrastruktur Pedesaan?

Perempuan ambil suara di Kab TTU Prov NTT (Foto: Kolkesi pribadi)

Tulisan ini sebagai ringkasan singkat tentang bagaimana mengoperasionalkan kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI = Gender and Social Inclusion) dalam pembangunan infrastruktur pedesaan. Infrastruktur pedesaan secara garis besar terdiri dari struktur fisik yang dibangun di kawasan pedesaan untuk mendukung berbagai kebutuhan mobilitas, akses, energi, pelayanan publik, air minum dan sanitasi pedesaan. Ini adalah struktur yang direncanakan secara lokal, berdasarkan kebutuhan lokal, dan menggunakan teknologi berbasis tenaga kerja sebagian besar dengan bahan lokal.

Pembangunan infrastuktur berpotensi membawa perubahan signifikan dalam kehidupan perempuan, kaum miskin, dan kaum terpinggirkan dengan mengurangi pengucilan geografis, meningkatkan akses ke fasilitas public (misal fasilitas air minum dan sanitasi, pasar), menghemat waktu dengan mengurangi kebutuhan perjalanan, yang pada gilirannya mengurangi beban kerja dan meningkatkan ekonomi rumah tangga melalui produksi hasil pertanian atau lainnya. Produktivitas lainnya dengan memanfaatkan tabungan, mengikuti perkembangan zaman, dan kemajuan teknologi. Untuk alasan ini, investasi terkait infrastruktur secara kolektif dianggap sebagai prioritas di daerah pedesaan.

Namun, dampak perbaikan infrastruktur pedesaan bervariasi untuk orang yang berbeda karena perbedaan peran dan tanggung jawab sosial dan ekonomi mereka. Secara khusus, perempuan, orang miskin dan anggota kelompok yang terpinggirkan secara sosial sering menghadapi kendala sosial, budaya, kelembagaan, fisik, dan ekonomi tertentu, yang banyak di antaranya berakar pada bias dan diskriminasi sistemik. Perbedaan ini berimplikasi pada bagaimana laki-laki, perempuan dan kelompok sosial yang berbeda dalam hal menggunakan layanan infrastruktur. Dengan demikian memiliki konsekuensi penting bagi kebijakan sektor, prioritas investasi, dan desain program.

Oleh karena itu, pembangunan infrastuktur memerlukan kombinasi respons dari sisi penawaran dalam hal desain teknik teknis dan pendekatan untuk menyusun tenaga kerja yang dibutuhkan pada saat  konstruksi dan dimensi kebutuhan apa yang hendak dilayani terkait dengan: siapa yang menggunakan infrastruktur apa, untuk tujuan apa, bagaimana operasi dan pemeliharaanya, serta bagaimana manfaat dan dampak yang didistribusikan di antara laki-laki dan perempuan, dan di antara rumah tangga dan komunitas dari kelompok sosial yang berbeda.

Dalam bahasan GESI terkait dengan pembangunan infrastruktur perdesaan tentu banyak kajian (misal dari World Bank atau ADB) mengenai apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi perempuan, kaum miskin, dan berbagai kelompok yang terpinggirkan secara sosial dalam mengakses dan memperoleh manfaat dari pembangunan infrastruktur perdesaan dan bagaimana hambatan-hambatan tersebut diatasi. Bahasan dalam GESI terkait dengan infrastruktur terdapat mulai perencanaan, penganggaran, konstruksi, operasi, pemeliharaan dan pelaporan proyek infrastruktur pedesaan.

Hambatan

Contoh sebuah hambatan adalah lokasi infrastruktur. Pemilihan lokasi untuk setiap bagian dari infrastruktur (misalnya, air minum dan sanitasi, irigasi, sekolah, fasilitas kesehatan, pasar, pusat masyarakat, dll) memutuskan kemudahan dimana kelompok-kelompok tertentu akan dapat mengakses konstruksi tersebut. Fasilitas kesehatan, gedung sekolah, pusat pasar, koperasi dan gedung komunitas dibangun di atas tanah sumbangan atau tanah umum, yang seringkali berada di tempat-tempat seperti puncak bukit tandus yang sulit dijangkau oleh semua orang. Pilihan lokasi sering dipengaruhi oleh pertimbangan politik para pemimpin lokal.

Jarang ada kompensasi yang dibayarkan untuk tanah pribadi yang digunakan untuk infrastruktur publik dan tidak selalu jelas apakah tanah tersebut “disumbangkan” secara sukarela. Penting untuk dicatat bahwa infrastruktur juga memainkan peran kunci dalam mempertahankan anak perempuan di sekolah. Tanpa toilet yang ramah gender dan lingkungan kelas yang nyaman, siswa perempuan, terutama setelah pubertas, merasa tidak nyaman untuk mengatur kebutuhan menstruasi mereka dan rentan terhadap pelecehan seksual.

Penting!“Infrastruktur memainkan peran kunci dalam tingkat kehadiran anak perempuan di sekolah”

Anak perempuan mengambil air

Anak perempuan mengambil air menyita waktu belajar di sekolah (Foto: koleksi pribadi)

Demikian pula, infrastruktur yang tidak memenuhi persyaratan siswa penyandang disabilitas akan membuat mereka enggan untuk mendaftar di sekolah atau menyebabkan peningkatan putus sekolah. Namun, saat ini, sebagian besar infrastruktur layanan pedesaan dibangun tanpa melibatkan analisis kebutuhan, aksesibilitas, dan populasi yang dilayani dengan tepat. Sebatas apapun aturan atau pedoman dari pemerintah ada untuk mengontrol aspek eksklusi ini tidak diikuti karena elit lokal dan orang-orang teknis tidak setuju/berpikir itu tidak penting.

Tahap identifikasi

Keputusan tentang lokasi yang tepat dari fasilitas infrastruktur atau alinyemen jalan dan saluran irigasi, cenderung dibuat tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan masalah perempuan, kelompok miskin dan kelompok terpinggirkan.

  • Identifikasi prioritas infrastruktur untuk setiap jenis proyek infrastruktur harus mengikuti Langkah-langkah tertentu untuk mengidentifikasi proyek potensial. Tetapi perempuan, orang miskin dan yang terpinggirkan kebanyakan tidak terlibat dalam tahapan ini—mereka sering kurang informasi, dan tidak dapat berpartisipasi dalam pertemuan perencanaan atau mempengaruhi desain proyek atau pemilihan lokasi.
  • Kesenjangan lainnya adalah ketersediaan informasi terpilah tentang di mana perbedaan kelompok sosial  dengan apa yang dihadapi ke depan terkait dengan lokasi prasarana yang diusulkan, baik itu gedung sekolah, fasilitas kesehatan, keran air, koperasi, irigasi, pusat masyarakat, pasar atau jalan. Berbagai sektor telah melakukan upaya untuk mengidentifikasi kebutuhan kelompok sasaran melalui proses partisipatif dalam menginformasikan, berkonsultasi, dan kemudian merancangnya.
  • Di sektor air minum dan sanitasi, pertemuan massal melalui sosialisasi dan rapat pleno diadakan dengan penerima manfaat untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang proses pengajuan dan pelaksanaan kegiatan. Namun, misal contoh di sektor kesehatan, tidak ada proses untuk mengidentifikasi prioritas masyarakat terkait pemilihan lokasi karena fasilitas kesehatan dibangun di atas tanah sumbangan.

Tahap perencanaan

  • Daerah terpencil sebagian besar diabaikan, sementara daerah yang mudah diakses seringkali diprioritaskan untuk infrastruktur lokal. Kelompok penduduk yang menetap di daerah terpencil dan mereka yang tinggal di daerah yang paling terpencil dari suatu komunitas tertentu memiliki kemungkinan besar untuk ditinggalkan selama perencanaan proyek infrastruktur. Seringkali, pengecualian mereka dimulai dengan pembentukan komite pengguna dan kelompok pengguna.

Tahap pelaksanaan

  • Ada risiko keluarga miskin kehilangan tanah dan rumah mereka tanpa kompensasi finansial yang memadai. Aturan kontribusi keuangan dan tenaga kerja seringkali tidak adil, dan dengan demikian yang lebih miskin terpaksa menanggung beban yang tidak proporsional dibandingkan dengan tingkat pendapatan dan/atau tingkat manfaat yang akan mereka terima dari infrastruktur.
  • Ketika infrastruktur dibangun oleh kontraktor, terkadang tenaga kerja lokal tidak dipekerjakan, dengan tenaga kerja yang didatangkan dari luar. Hambatan utama lainnya untuk inklusi adalah tata kelola yang buruk, kurangnya transparansi dan akuntabilitas proses yang bersama-sama sering mengakibatkan korupsi dan pemborosan sumber daya publik.

Tahap operasi dan pemeliharaan

  • Perempuan, kelompok miskin dan terpinggirkan mungkin tidak terwakili dalam komite operasi dan pemeliharaan (O&P), dan mungkin tidak mendapat kesempatan untuk dilatih sebagai pekerja pemeliharaan. Iuran untuk pemeliharaan tidak merata, sehingga yang lebih miskin terpaksa menanggung beban yang lebih besar dibandingkan dengan tingkat pendapatan dan/atau tingkat keuntungan mereka.

Bagaimanapun juga, bahwa GESI ini sebenarnya sudah termasuk dalam tools yang selama ini digunakan dalam pendekatan berbasis masyarakat semacam MPA, IMAS, PHAST, PRA, RRA, dan sebagainya. Penekanan khusus diberikan kepada GESI ini biasanya terkait dengan obyektif atau focus tertentu misal dikaitkan dengan pencapaian key performance indicator dan peningkatan kualitas dari referensi yang sudah ada, serta tujuan riset lainnya.

Salam,
Trimo Pamudji Al Djono (Ipehijau)